Assalamu'alaikum....
Apa kabar saudara/i ku sesama muslim.... semoga pada pagi hari ini kita semua selalu di berikan barokah oleh Allah Azza Wa Jalla...
Sudah lama ana tidak memposting sesuatu, maka kali ini ana mau mengajak kalian untuk sedikit ngbrol tentang bagaimana sih hukum merayakan tahun baru bahkan hari natal bersama mereka yang umat nasrani, tentunya bagi kita seorang muslim. Banyak terjadi perbedaan pendapat... terutama di kalanagan kaum muda, yang masih ingin bersenang senang dan tidak seberapa memperhatikan batasan-batasan bagi mereka sebagai seorang muslim sejati. kalau begitu yuk kita lihat dalil-dalil Islam yang sebenarnya memperbolehkan atau mengharamkan sih merayakan natal dan tahun baru mersama orang nasrari bersama mereka orang-orang yang bukan muslim.
Apa kabar saudara/i ku sesama muslim.... semoga pada pagi hari ini kita semua selalu di berikan barokah oleh Allah Azza Wa Jalla...
Sudah lama ana tidak memposting sesuatu, maka kali ini ana mau mengajak kalian untuk sedikit ngbrol tentang bagaimana sih hukum merayakan tahun baru bahkan hari natal bersama mereka yang umat nasrani, tentunya bagi kita seorang muslim. Banyak terjadi perbedaan pendapat... terutama di kalanagan kaum muda, yang masih ingin bersenang senang dan tidak seberapa memperhatikan batasan-batasan bagi mereka sebagai seorang muslim sejati. kalau begitu yuk kita lihat dalil-dalil Islam yang sebenarnya memperbolehkan atau mengharamkan sih merayakan natal dan tahun baru mersama orang nasrari bersama mereka orang-orang yang bukan muslim.
1. haram bagi seorang muslim untuk mengikuti ahli kitab (yahudi dan nasrani). merayakan natal ataupun hari raya mereka, mengucapkan selamat kepada mereka, karena hal itu merupakan bagian dari kegiatan syiar agama mereka yang batil. maka sebagai seorang muslim tidak sepatutnya kita melakukan hal itu. sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla :
[وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً [الفرقان:72
"Dan orang-orang yang tidak menyaksikankemaksiatan, dan apabila
mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan
dirinya." (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, "az-Zûr
(kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat
yang sama dikemukakan oleh ar-Rabî' bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya'lâ dan
ad-Dhahâk." Ibn Sirîn berkomentar, "az-Zûr adalah Sya'ânain.
Sedangkan Sya'ânain adalah hari raya kaum Kristen. Mereka
menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka
merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang
masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis."[1]
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zur
(Hari Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau
mendengar, lalu bagaimana dengan tindakan lebih dari itu, yaitu
merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang menyatakan:
قَدَمَ رَسُوْلُ الله [صلم]
اَلْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا
هَذَا اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ
الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله [صلم]: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ [رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم]
"Rasulullah saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk
Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari
tersebut, seraya berkata, 'Dua hari ini hari apa?' Mereka menjawab,
'Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.'
Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya
dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul
Fitri."
(Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa'i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa
kedua hari raya Jahiliyyah tersebut tidak diakui oleh Rasulullah saw.
Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi
tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik." Pernyataan Nabi yang menyatakan, "mengganti" mengharuskan
kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin
antara "pengganti" dan "yang diganti" bisa dikompromikan. Sedangkan
sabda Nabi saw, "Lebih baik dari keduanya." mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga, tindakan 'Umar dengan syarat yang ditetapkannya
kepada Ahli Dzimmah telah disepakati oleh para sahabat, dan para fuqaha'
setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya
mereka di wilayah Islam. Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan
hari raya mereka saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim
melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi.
'Umar pun berpesan:
إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ
تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ
فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ [رواه أبو البيهقيإسناد صحيح].
"Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian
memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di
gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka."
(Hr. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, "Umar melarang belajar bahasa mereka,
dan sekedar memasuki gereja mereka pada Hari Raya mereka. Lalu,
bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang
menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah melakukan tindakan mereka jauh
lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari raya mereka lebih berat
ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam hari raya mereka? Jika
murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada hari raya mereka, akibat
tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat bersama mereka dalam
aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas tersebut pasti mengundang
adzab tersebut."[2]
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl ad-Dzimmah,
Juz I/161. Beliau menyatakan, para ulama' sepakat tentang keharaman
mengucapkan "Selamat Hari Raya" kepada mereka, tidak ada perselisihan
pendapat.
Dr. Quraisy Shihab menyatakan, memberikan ucapan selamat Natal sudah diajarkandalam al-Qur'an, seperti tertuang dalam surah Maryam ayat 34.
"Itu tentang Isa putera Maryam, yang merupakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya." (Q.s. Maryam [19]: 34)
Ayat ini sama sekali tidak membahas tentang hukum kebolehan
mengucapkan "Selamat Natal". Menurut al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan
tentang siapa Nabi 'Isa –'alaihissalam. Dia adalah putra
Maryam, tidak seperti yang dituduhkan orang Yahudi, sebagai putra Yûsuf
an-Najjâr, atau seperti klaim orang Kristen, bahwa dia adalah Tuhan
(anak), atau putra Tuhan.[3]
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, bahwa merayakan hari rayaagama
adalah hak masing-masing agama,selama tidak merugikan agamalain.
Termasuk hak tiap agama untuk memberikan ucapan selamat saatperayaan
agama lain. Dia mengatakan, "Sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak
melarangkami untuk untuk memberikan ucapan selamat kepada non-Muslim
warga negarakami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka.
Bahkanperbuatan ini termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan yangbaik).
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."(Q.s. al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan mengucapkan selamat ini terutama bila pemeluk agama lain itujuga telah memberikan ucapan selamat kepada kita dalam perayaan hari rayakita:
"Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu." (Q.s. an-Nisa': 86)
Begitu, kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Padahal, Q.s. al-Mumtahanah: 8 di atas, khususnya frasa "Tabarrûhum wa tuqsithû ilaihim"(berbuat
baik dan berlaku adil kepada mereka) tidak ada kaitannya dengan
mengucapkan "Selamat Hari Raya" kepada kaum Kafir yang tidak memerangi
kita. Karena bersikap baik dan adil kepada mereka dalam hal ini terkait
dengan mu'amalah, bukan ibadah.Sedangkan mengucapkan "Selamat
Hari Raya" kepada mereka bagian dari ibadah. Konteks ayat ini terkait
dengan Bani Khuza'ah, dimana mereka menandatangani perjanjian damai
dengan Nabi untuk tidak memerangi dan menolong siapapun untuk
mengalahkan baginda saw, maka Allah perintahkan kepada baginda saw untuk
berbuat baik, dan menepati janji kepada mereka hingga berakhirnya waktu
perjanjian.[4] Jadi, konteks "berbuat baik" di sini sama sekali tidak
ada kaitannya dengan "Selamat Hari Raya" kepada mereka, yang merupakan
bagian dari "berbuat baik".
Demikian juga dengan Q.s. an-Nisa': 86. Ayat ini menjelaskan tentang tahiyyah (ucapan salam) yang disampaikan kepada orang Mukmin. Tahiyyah juga
bisa berarti doa agar diberi kehidupan. Menurut at-Thabari, "Jika
kalian didoakan orang agar diberi panjang umur, maka diperintahkan untuk
mendoakannya dengan doa yang sama."[5] Namun, menurut al-Qurthubi, tahiyyah
di sini bisa berarti ucapan salam. Jadi, "Jika kalian diberi salam,
maka jawablah salamnya dengan lebih baik." Hanya, menurut al-Qurthubi,
balasan lebih baik ini dikhususkan kepada orang Islam, jika mereka yang
mengucapkan salam. Jika yang mengucapkan salam orang Kafir, termasuk
Ahli Dzimmah, maka tidak boleh membalas salam mereka, kecuali dengan
jawaban yang diajarkan oleh Nabi, "Wa 'alaikum." [6]
Jadi, menggunakan ayat ini untuk membolehkan kaum Muslim mengucapkan
"Selamat Hari Raya" kepada kaum Kafir jelas tidak tepat. Bahkan,
bertentangan dengan sejumlah dalil, baik al-Qur'an, as-Sunnah maupun
Ijma' Sahabat. Meski begitu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi secara tegas
mengatakan, bahwa tidak halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam
ritual dan perayaan khas agama
lain.
lain.
Adapun Dr. Mustafa Ahmad Zarqa' menyatakan bahwa tidak ada dalil yang
secarategas melarang seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang
Kafir.Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw
pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri
ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang
dianut jenazah tersebut.
Menurut beliau, ucapan "Selamat Hari Raya" kepada para pemeluk
Kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, juga tidakterkait
dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkanhanya bagian
dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang
Muslimkepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.Dia juga
memfatwakan, bahwa karena ucapan selamat inidibolehkan, maka pekerjaan
yang terkait dengan hal itu seperti membuatkartu ucapan selamat natal
pun hukumnya ikut dengan hukum ucapannatalnya.
Namun dia juga menyatakan, bahwa ucapan selamat ini harus
dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti
dengan menghadiri perayaan natal yang digelar di berbagai
tempat.Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram
dantermasuk perbuatan mungkar.
Mengenai berdiri atau duduknya Nabi ketika jenazah Yahudi lewat,
sebenarnya bukan dalil khusus, tetapi ini merupakan tindakan yang
dilakukan Nabi secara umum terhadap jenazah, baik Muslim maupun
non-Muslim. Karena dalam riwayat al-Hasan maupun Ibn 'Abbas dinyatakan,
bahwa Nabi terdakang berdiri dan terkadang duduk, saat ada jenazah
melintas di hadapan baginda saw. Ini juga tidak ada kaitannya dengan
mengucapkan "Selamat Hari Raya" kepada mereka. Karena konteksnya
jelas-jelas berbeda.
Tentang pembuatan kartu Natal atau pernak-pernik Natal jelas haram, karena ini menyangkut madaniyyah khâshash yang terkait dengan peradaban lain, di luar Islam, yang nota bene adalah Kufur. Karena itu, hukum membuat, menjual, memanfaatkan dan mengambil harga dan keuntungan darinya juga haram.
Mengenai pernyataan Menteri agama yang menyatakan, bahwa ini hanyalah
masalah mu'amalah, juga merupakan pernyataan yang tidak cermat. Karena
tidak memilah mana yang ibadah dan mu'amalah. Merayakan Natal Bersama
adalah bagian dari ibadah, yang haram dilakukan oleh kaum Muslim. Bahkan
bisa menjerumuskannya dalam kemurtadan. Sedangkan memberi ucapan
"Selamat Hari Raya" bagian dari mu'amalah yang haram dilakukan oleh kaum
Muslim kepada non-Muslim, apapun alasannya. Apakah untuk mujamalah(basa-basi), yang nota bene adalah sikap nifaq, maupun tasamuh (toleransi).
Pernyataan yang juga menggelikan adalah pernyataan MUI, yang
menyatakan boleh menghadiri, asal serimonialnya bukan ritualnya.
Pernyataan seperti ini juga batil, yang sama sekali tidak ada dalilnya.
Sebab, siapapun yang menelaah dalil-dalil yang dikemukakan di atas,
pasti paham, bahwa jangankan untuk menghadiri seremoninya, karena
melihatnya saja jelas-jelas tidak boleh.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan:
1- Hukum mengucapkan "Selamat Natal" atau "Selamat Hari Raya" bagi
orang non-Muslim dalam hari raya mereka jelas haram. Dalam hal ini,
menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama'.
2- Hukum mengikuti ritual maupun seremoni hari raya orang
non-Muslim juga haram, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama'.
3- Membuat kartu atau pernak-pernik natal atau hari raya agama lain juga diharamkan, karena ini menyangkut madaniyyah khashahyang bertentangan dengan Islam.
4- Dalil-dalil yang menyatakan keharamannya juga jelas, baik dalam
al-Qur'an, as-Sunnah maupun Ijma' Sahabat. Sedangkan dalil-dalil yang
digunakan untuk menyatakan kebolehannya sama sekali tidak ada kaitannya,
baik langsung maupun tidak. Karena itu, tidak layak dijadikan hujah
dalam masalah ini.
Wallahu a'lam.
Oleh: Hafidz Abdurrahman, Magister Akidah dan Pemikiran Islam, Univesity of Malaya, Malaysia
[1] Lihat, Ibn Taimiyyah,Iqtidha' as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu'jam al-Wasith, Juz I/488.
[2] Lihat, Ibn Taimiyyah, Iqtidha' as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/515.
[3] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, Juz XI/105.
[4] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, Juz XVIII/59.
[5] Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, Juz V/119.
[6] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, Juz V/297.
dikutip dari : http://arrahmah.com
0 komentar:
Posting Komentar